Yang Saya Pelajari dari Para Konsultan Bisnis di Accenture, McKinsey, BCG, dan Sejenisnya

2016-05-11 09.30.20

Saat saya lulus kuliah, 7 tahun lalu, saya mengamati ada beberapa teman seangkatan saya yang diterima bekerja di perusahaan bergengsi; yaitu konsultan bisnis seperti Accenture dan McKinsey. Saya katakan bergengsi, karena perusahaan seperti itu saya ketahui memberikan gaji yang tinggi, sering traveling keliling Indonesia bahkan ke luar negeri, dan menangani klien perusahaan-perusahaan besar di dunia.

Mereka  yang diterima di sana pun bukan orang yang sembarangan. Cerdas, punya IPK cum laude, juga sangat mahir dalam berkomunikasi. Orang-orang yang saat kuliah pun sudah masuk dalam golongan elit di mata saya. Golongan high performer dan high achiever. Mereka yang bukan cuma akademisnya saja yang mentereng, tapi aktif juga di kegiatan ekstra kurikuler (saya juga aktif di ekstra kurikuler, tapi IPK cuma sedikit di atas 3 huhu).

Setelah lulus, saya yang memilih jalur menjadi entrepreneur saat lulus, tidak sering berinteraksi dengan mereka. Kita jarang bertemu di acara reunian, bahkan saat tidak sengaja bertemu pun, tidak ngobrol tentang pekerjaan mereka. Padahal saya selalu penasaran, pekerjaan seperti apa yang mereka lakukan sebagai konsultan? Mengapa mereka bisa digaji tinggi?

Sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sementara jadi entrepreneur, lalu kemudian bekerja di Traveloka, pertanyaan saya terjawab. Saya kembali bertemu dengan mereka yang pernah bekerja sebagai konsultan bisnis.

Traveloka banyak sekali merekrut mereka yang pernah bekerja di perusahaan konsultan bisnis, seperti Accenture, McKinsey, maupun Boston Consulting Group (BCG). Hampir semua posisi manager atau team leader, bahkan selevel direktur, posisi yang memberikan impact besar pada produk akhir Traveloka, diisi oleh jebolan berbagai perusahaan itu.

Pertanyaan saya kembali muncul. Pekerjaan apa yang dulu mereka lakukan sebagai konsultan? Mengapa mereka mau “turun gunung” dari perusahaan konsultan bisnis bergengsi, ke Traveloka yang (saat itu) masih perusahaan kecil? Mengapa mereka diberikan posisi dan tanggung jawab tinggi di Traveloka?

Beberapa pertanyaan kembali bergaung dalam kepala. Apa kemampuan yang dimiliki para konsultan bisnis itu yang menyebabkan Traveloka mau memberikan mereka tanggung jawab (juga kompensasi) yang besar? Saya harus belajar dari mereka, mencuri ilmu mereka.

Pertanyaan pun saya ajukan ke mantan senior di kampus yang sejak lulus kuliah hanya bekerja di satu perusahaan konsultan bisnis itu, untuk kemudian pindah ke Traveloka sebagai salah satu Product Manager.

“Kemampuan apa sih yang dilihat dari para konsultan bisnis, mengapa banyak sekali kalian yang masuk ke Traveloka?” tanya saya.

Ia menjawab, “bekerja dalam keadaan ada ambigu, keadaan yang tidak jelas.”

Hmmm?

Tidak puas (tepatnya tidak mengerti sih) dengan jawabannya, saya lalu bertanya langsung kepada Chief of HR di Traveloka. Darinya semuanya jadi jelas. Rangga, Chief of HR kami menjelaskan, “ada tiga kemampuan yang kami lihat dari para konsultan bisnis itu.”

“Pertama, kemampuan menemukan masalah. Kedua, memecah masalah menjadi masalah-masalah yang lebih kecil, untuk kemudian membuat prioritasnya. Terakhir, membuat solusi pemecahan masalah-masalah tersebut dan melaksanakannya satu persatu, hingga masalah utama yang pertama tadi pada akhirnya bisa selesai,” Rangga menutup penjelasannya.

Ah! Saya akhirnya memahami dua penjelasan tadi.

Dalam dunia bisnis atau profesional, khususnya di perusahaan yang masih berkembang pesat seperti Traveloka, banyak sekali hal-hal yang masih belum jelas. Contohnya, belum semua area punya SOP, tidak semua pertanyaan kita tentang pekerjaan kita langsung ada jawabannya, banyak masalah bisnis yang kita tidak tahu harus tanya ke siapa untuk membantu kita. Banyak sekali kondisi yang tidak jelas alias ambigu!

Seperti apa sih contoh kondisi yang jelas dan yang tidak jelas?

Contoh sederhana, misalnya untuk pertanyaan bisnis seperti “berapa harga jual per buah pisang goreng ini?” jawabannya tentu amat simpel. Ini adalah contoh kondisi yang jelas. Tinggal hitung biaya produksi per buah (hitung harga pisang, tepung, minyak, gula, dsb), misalnya 1.000 rupiah. Kemudian tambahkan margin keuntungan, misal 50%. Artinya harga jual adalah 1.000 + (1.000 x 50%) = 1.500 rupiah per buahnya.

Tapi untuk pertanyaan seperti “berapa harga jual per buah pisang goreng ini agar keuntungan perusahaan menjadi maksimal?” jawabannya tidak sesederhana sebelumnya. Jika terlalu murah, yang beli mungkin banyak, tapi keuntungannya amat sedikit. Sebaliknya, jika harganya mahal, tidak ada yang beli. Pertanyaan tipe seperti ini lah yang butuh dipecahkan orang-orang dengan kemampuan konsultan bisnis.

Dalam kondisi ambigu yang serba tidak jelas inilah, peran konsultan bisnis dibutuhkan. Ia harus mencari solusi dari ketidakjelasan berbagai masalah bisnis yang dihadapi. Ia adalah pemikir (thinker), tapi juga pelaku (doer) di saat yang sama. Inilah alasan mengapa mereka memiliki tanggung jawab (dan kompensasi) yang besar.

Bagi teman-teman yang sedang bekerja dan mengembangkan karier profesional teman-teman, mari belajar dari mereka para konsultan bisnis. Dengan memiliki tiga kemampuan tadi (menemukan masalah, membagi skala prioritas, dan menyelesaikan masalah itu), kita bisa menerapkan kemampuan itu di mana saja. Di kehidupan masyarakat untuk menyelesaikan masalah sosial, di kehidupan kewirausahaan untuk mengembangkan bisnis kita, dan sebagainya.

Sip, sekarang saya sudah tidak penasaran lagi, dan siap belajar lebih lanjut. Terima kasih kawan-kawan konsultan atas inspirasinya!

Join the Conversation

15 Comments

      1. Karena ini bukan kesimpulan, melainkan pertanyaan biasa, kesimpulan tidak diakhiri dengan tanda tanya

    1. Kesimpulannya ga gitu sih bang, ada juga kok background non-consultant yang jadi PM jg di Traveloka.

      Tapi memang profil yang dibutuhkan untuk posisi PM mostly cocok dengan profilnya consultant

    1. Terima kasih udah sharing pengalaman juga!

      Saya saat ini juga jadi konsultan kok, tapi konsultan Marketing 😉

  1. Nice artikel mas, saya banyak belajar dari tulisan2 mas ilman. Btw, buka class digital marketing donk mas, saya pengen banget menggali ilmu digital marketing lebih banyak dari mas ilman

  2. thanks for the sharing. ini juga sudah lama menjadi pertanyaan saya dan artikelnya cukup menjawab.. ^^

Leave a comment

Leave a Reply to Anon Cancel reply

%d bloggers like this: