Tukang Ojek dan Setengah Gelas Starbucks

My chai!

Kemarin pagi, saya hampir terlibat perkelahian, saat tukang ojek langganan beradu mulut dengan supir mobil boks.

Hari itu bermula seperti biasa. Turun di stasiun Tanah Abang, saya bergegas berjalan keluar. Sekitar 50 meter berjalan, tukang ojek pangkalan langganan saya menyambut. Agus namanya. Orangnya kurus, tinggi, usia kira-kira 40 tahun atau kurang. Orangnya kocak, murah senyum dan kita juga suka bercanda. Agus ini adalah tukang ojek saya secara default. Kalau dia tidak sedang narik penumpang lain, saya pasti naik dengan dia.

Saya menyambut helm yang disodorkan Agus, saya pakai, naik ke bangku penumpang, motor pun jalan. Sekitar 1 menit jalan, motor saya menuju lampu merah Jati Baru, untuk putar balik ke arah Slipi, tempat kantor saya berada. Saat ingin putar balik, ia tidak bisa langsung mengambil jalur paling kanan, karena ada mobil boks menghalangi jalannya, terjebak lampu merah.

Ternyata lampu langsung berganti hijau saat motor kami ingin mendahului mobil boks itu. Sudah memberi lampu sen kanan, kasih tangan, dan kasih klakson, kami sudah di samping pintu penumpang sebelah kiri, siap mendahului mobil boks itu. Tidak disangka, mobil itu melaju, tidak memberi kami jalan memutar mendahuluinya.

Agus melajukan motornya, yang saya pikir akan berputar ke arah seharusnya. Ternyata dia mengejar mobil boks itu dari kanan, sambil klakson-klakson, tidak terima tidak diberikan jalan seperti itu. Supir boks juga melambatkan jalannya, beradu mulut dengan Agus. Agus semakin mendekat ke mobil boks, masih adu mulut dengan si sopir. Saya pukul pundaknya sambil berteriak marah, “Bang, saya mau kerja, putar balik sekarang!”

Motor sudah semakin pelan mendekati sisi mobil boks. Saya yang tahu Agus tidak akan berhenti, langsung turun di tengah persimpangan yang kini ramai dengan klakson-klakson mobil & motor lain. Saya berjalan ke tepi trotoar, menaruh helmnya di pinggir trotoar, dan bergegas mencari ojek atau taksi lain yang bisa mengantarkan saya ke kantor tanpa perlu terlibat drama.

Belum sempat menyetop kendaraan lain, Agus sudah kembali, memegang helm yang tadi saya tinggalkan, sambil mengajak saya naik kembali ke motornya. Tentu saya naik lagi, karena yang penting cuma saya ingin cepat sampai kantor. Setelah kami berboncengan kembali, saya bilang, “Bang, saya cuma mau berangkat kerja. Kalau saya nggak sampai kantor karena kejadian tadi, gimana?”

Ia menceritakan kekesalannya, sudah memberi tangan kenapa tidak diberikan juga. Saya cuma menjawab, “berdoa aja bang, kalo ngerasa didzholimi orang lain, berdoa aja, biar Allah yang bales.” Saya bisa bilang begitu, karena saya tahu ia muslim. Bahkan setiap Jum’at dia tidak narik ojek karena dia jualan di pasar sholat Jum’at di masjid dekat sana.

Masih di atas motor, ia kemudian minta maaf udah melakukan hal tadi yang membuat saya marah. Sesuatu yang saya nantikan, alhamdulillah ini orang memang orang “bener”, tidak salah memang saya jadikan dia ojek langganan. Saya membalas, “iya bang. Di jalanan emang begitu, banyak-banyak istighfar aja dah pokoknya.”

Saya sudah maafkan dia, tapi kenapa dia yang biasanya kocak, kok bisa sedemikian marah ya tadi?

Saat turun di depan kantor dan mengambil kembalian 5 ribu untuk uang 20 ribuan yang saya berikan, baru saya tahu penyebabnya. Ia bercerita, dengan mimik menyesali yang dia lakukan tadi, bahwa tadi pagi ia mendapat masalah di pangkalan. “Sewa”-nya (istilah mereka untuk penumpang) direbut oleh ojek lain, meski si sewa tersebut sudah siap naik motor dia. Hal tersebut membuat suasana hatinya buruk dan membuat kejadian tadi terjadi. Saya menerima kembalian dan bergegas meninggalkannya, masuk ke gerbang kantor.

Setelahnya, saya merenung. Buat tukang ojek, satu “sewa” senilai 15-20 ribu rupiah itu benar-benar berarti baginya. Nilai yang buat kelas menengah seperti Anda dan saya tidak seberapa besar. Demi jumlah hanya segini, mereka harus berpanas-panasan, rebutan dengan puluhan tukang ojek pangkalan lain, bahkan sampai bentrok dengan tukang ojek online di mana-mana (padahal semuanya sama-sama cari makan).

Padahal nilai segitu hanya bernilai “setengah gelas Starbucks”. Nilai yang cukup mudah kita dapatkan sebagai pekerja kelas menengah, dan sebaliknya, mudah pula kita keluarkan.

Sejak memahami bahwa tukang ojek itu tidak seberuntung kita semua, saya semakin yakin untuk menggunakan ojek pangkalan langganan saya. Biarlah lebih mahal dari menggunakan ojek online, karena dengan cara ini, saya berharap bisa menjadi bagian dari keran rezeki yang mengalirkan karunia-Nya kepada mereka. Mudah-mudahan yang saya lakukan bisa diterima oleh Yang Maha Kuasa sebagai cara saya bersyukur.

Kalau teman-teman, bagaimana cara kalian bersyukur atas apa yang teman-teman miliki?

Join the Conversation

7 Comments

  1. Setuju, kalau dipikir-pikir untuk kelas menengah uang 100 ribu pun kalau di mall seperti nggak ada apa-apanya ya. Komparasi dengan setengah gelas Starbucks bikin lebih sadar akan kesenjangan antar kelas.

    1. iyaaa.. alhamdulillah, ternyata komparasi dgn gelas Starbucks mengena sekali ya..

      Btw, udah lama saya ga bales2an komentar kaya begini. just like the good ol’ times 10 tahun lalu ya hahaha

      1. Eh, iya banget yaa… Belakangan aku mulai blogwalking lagi dan menemukan teman blogger lama yang masih ngeblog rasanya seneng banget hihi. Banyakan terlantar soalnya… :’) 10 tahun yaa… lama juga :’)))

  2. respon kak ilman yg bilang ke tukang ojeknya untuk “sabar aja, biar Allah yang balas”, itu ngena banget.
    manusia harusnya gk terlalu gampang marah, gak terlalu sensitif.. ingat kata-kata istri saat menasehati saya: kalau mau jadi orang bener, jangan gampang tersinggung..

  3. the power of setengah gelas starbucks. ngena banget:))) pas baca, agak tercengang gitu.

Leave a comment

Leave a Reply

%d bloggers like this: