Kamis malam kemarin badan saya meriang. Jum’at siang serah terima jabatan, resmi jadi demam. Saya diberi resep awal vitamin dan parasetamol penurun panas oleh dokter di Grab Health. Juga dipesankan untuk cek darah 3 hari lagi untuk cek DBD atau tipes kalau kondisi tidak membaik.
Demam berangsur turun sepanjang Jum’at, tapi di Sabtu timbul mual, diare, mulut yang pahit, dan kepala masih pusing walau demam sudah hilang. Lapor ke dokter yang sama, diberi tambahan obat anti muntah dan bakteri baik. Dokternya bilang, ini bisa jadi tipes atau COVID, karena sama-sama ada gangguan pencernaan juga (saya sih tidak ada sesak ya).
Sabtu sore diare berhenti, hari Minggu badan sudah mulai enakan. Tersisa mulut pahit dan tetap tidak nafsu makan. Saya coba-coba diagnosa gejala diri sendiri berbekal artikel dari internet (note: sekarang artikel dari internet banyak ditulis/diverifikasi oleh Dokter, silakan diversifikasi sebelum percaya isinya).
Kesimpulannya: kayanya saya fix tipes nih.
Disebutkan kalau gejala tipes itu muncul sekitar seminggu setelah terinfeksi. Saya langsung telusuri, akhir pekan lalu saya memang sempat makan di luar. Saya sempet makan menu yang dingin kaya angetan microwave kurang lama, jadi mungkin makanan ga segar itu penyebabnya.
Plus semua gejala saya tadi (demam, sakit pencernaan) itu mirip dengan yang tertulis di artikel. Ah fix kemungkinan tipes kalau gitu.
Seninnya, saya cek lab (3 hari setelah panas pertama). Saya cukup pede ini “cuma” tipes yang mau sembuh dan bisa dirawat jalan saja di rumah, karena sisa masalah pencernaannya aja nih.
Ternyata, setelah cek lab, tipesnya negatif. DBD (Demam Berdarah Dengue) yang positif.
Trombosit drop ke 28 ribu dari normalnya 150 ribu, dan saya harus dirawat inap karena kondisi di atas yang hampir membahayakan jiwa. Ada fase kritis DB di hari ke sekian – kira-kira di periode saya ini – yang trombositnya akan turun terus.
Padahal saya merasa “ngerti” bahwa “ah saya paling gejala tipes nih”. Saya merasa “ngerti” ada kemungkinan besar saya nggak akan dirawat inap nih. Ternyata semua sebaliknya.
Ternyata berbahaya sekali mengambil keputusan atau menyebarkan sesuatu cuma karena kita merasa “sudah ngerti” sendiri. Padahal ada lagi orang-orang yang memang “beneran ngerti”.
Setelah “sudah ngerti” lalu kita merasa “paling benar”. Lalu menyuarakan ke mana-mana hal-hal yang ternyata “tidak seperti itu”. Lalu kerusakan tercipta karena hal itu dianggap benar oleh banyak orang, yang mulainya dari kita.
Sungguh, yang keluar masuk semua indera kita, lintasan-lintasan pikiran kita, dan pada akhirnya ditentukan di tindakan kita, semua kelak ada pertanggungjawabannya.
Jadi, apakah kita yakin sudah benar-benar ngerti yang kita kita sudah mengerti? Atau sebaiknya kita mengakui saja bahwa, ya, kita memang ga ngerti apa-apa?
Agar kita bisa menundukkan hati untuk belajar dari yang benar-benar mengerti?
Salam semangat,
Ilman
Gambar hanya pemanis: foto antrean dokter umum di IGD. I thought it would be fast, baby. Turned out it was just a start of a new journey. Doakan saya ya!
Lihat Yang Mulia, hahaha bodoh sekali dia Yang Mulia! dia kan tidak tahu apa-apa!
Penasihat Raja, Benteng Takeshi
NB: ini diniatkan jadi tulisan pertama dari rangkaian #IlmanKenaDBD – hari pertama. Semoga istiqomah.