Minggu lalu, saya dikejutkan dengan sebuah kabar duka. Wada Kouji, penyanyi original soundtrack (OST) Digimon, anime favorit anak generasi 90an, meninggal dunia karena penyakit kanker pita suara yang dideritanya. Ia meninggal di usia relatif muda, 42 tahun.
Generasi saya, yang tumbuh dengan menonton kartun anak-anak di hari Minggu pagi, pasti sudah akrab dengan lagu ini.
[youtube=https://youtu.be/lCMgx7T-QcI]
Judulnya Butterfly, lagu pembuka Digimon Adventure yang amat populer ini memang dinyanyikan oleh mendiang Wada Kouji. Ia juga menyanyikan OST Digimon seri setelahnya, seperti Digimon 02, Tamers, Frontiers, Savers, dan Cross Wars. Akhir tahun 2015 lalu ada remake seri Digimon Adventure, dengan judul Digimon Adventure Tri. Wada Kouji menyanyikan kembali Butterfly, kini dengan versi aransemen baru. Bisa dibilang Butterfly Tri Version ini adalah karya terakhirnya.
Kabar ini membuat saya dan generasi saya seperti kehilangan pahlawan masa kecil, karena lagu Butterfly amat lekat di hati kami. Lagu ini saya bisa bilang adalah salah satu lagu sepanjang masa yang tidak akan pernah bosan diulang-ulang. Butterfly tidak pernah gagal membuat saya merasa bersemangat, dan tentu saja, nostalgic. Apalagi ada banyak versi Butterfly sudah dinyanyikan mendiang Wada Kouji.
Wada Kouji memang sudah meninggalkan dunia ini, tapi saya bisa bilang, tidak akan ada yang lupa dengan lagu Butterfly dan penyanyinya. Ia sudah meninggalkan warisan, sebuah jejak yang akan terus membekas di dunia, di hati orang-orang seperti saya yang tumbuh besar bersamanya.
Tidak ada manusia yang hidup selamanya. Tapi mengapa ada orang-orang yang masih terus diingat dan disebut-sebut namanya bertahun-tahun, puluhan tahun, hingga ratusan bahkan ribuan tahun setelah ia meninggal dunia?
Sebutkan nama-nama tokoh besar dunia. Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ibnu Sina (Avicenna). Alexander the Great. Napoleon Bonaparte. George Washington. Wrights bersaudara. Albert Einstein. Soekarno-Hatta. Jenderal Soedirman. Steve Jobs. Sebut semua. Tidak akan ada manusia yang lupa dengan nama-nama ini.
Mereka tetap “hidup” karena mereka telah meninggalkan warisan yang bermanfaat bagi banyak sekali manusia di dunia. Mereka hidup di dunia bukan sekedar numpang hidup, tetapi juga berusaha menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik, lewat karya-karya dan kontribusi mereka.
Berita Wada Kouji menjadi pengingat diri sendiri tentang tujuan hidup di dunia. Bahwa dalam hidup, kita harus menjadi orang yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia di dunia. Bahwa kita harus melakukan sesuatu dan meninggalkan “warisan” setelah kita wafat kelak.
Ciptakan buku, bisnis, teori ilmiah, undang-undang, desain, apapun karya yang kita bisa, yang bermanfaat bagi orang lain. Setidaknya, ciptakan senyuman di bibir orang-orang terdekat.
Tinggalkan manfaat di dunia ini. Berikan kebahagiaan untuk sebanyaknya manusia. Tinggalkan karya. Agar kita bisa “hidup” selamanya di hati dan pikiran orang-orang yang mencintai kita.
Seperti lagu Butterfly yang tidak berhenti mengalun di dalam hati saya saat menulis tulisan ini.
Mugendai na yume no ato no nanimo nai yo no naka ja
Sou sa itoshii omoi mo makesou ni naru kedo
Stay shigachi na imeeji darake no tayorinai tsubasa demo
Kitto toberu sa on my loveAfter an endless dream, in this world of nothingness
It seems as if our beloved dreams will lose
Even with these unreliable wings, covered in images that tend to stay
I’m sure we can fly, on my love
RIP, Wada Kouji
(29 Januari 1974 – 3 April 2016)
Saya jadi ingat quotes dari Pramodya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Memang benar sih kalau kita di dunia hanya hidup saja tanpa menghasilkan karya yg bermanfaat bagi orang lain, kesannya kita hanya lewat lalu hilang saja.
ada juga pepatah yang berbunyi, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan…