Setiap pagi dalam perjalanan berangkat ke kantor, bagi saya sama artinya dengan bermain-main. Ya, saya bermain di antara semilir angin yang terkadang masih dingin, menaiki bukit dan menuruni lembah, menyelip di antara “pesawat-pesawat raksasa”, serta melepaskan adrenalin di dalam diri sementara peluh di kulit sudah menguap lagi.
Ya, saya sedang bicara tentang bersepeda ke kantor alias bike to work. Saya berangkat ke kantor setiap hari naik sepeda, just like the good ol’ time.
Zaman SD dulu, saya bersepeda hampir setiap hari. Berangkat mengaji yang jaraknya ga sampai 1 km dari rumah, naik sepeda. Keliling komplek perumahan, naik sepeda. Melewati pepohonan di Universitas Indonesia yang kelak saya berada di dalamnya, naik sepeda. Bertualang melewati pinggir sungai melintasi kecamatan, naik sepeda. Lagi kesal dan mau menyalurkan emosi, saya ngebut naik sepeda.
Saat kecil, saya sering bersepeda sendiri. Tapi rasanya lebih sering berboncengan bersama sahabat zaman kecil dalam satu sepeda. Disebut berboncengan, lebih tepat sebenarnya disebut kita duduk dalam satu sadel. Dia di posisi belakang, saya di posisi depan sepeda gunung milik orang tua saya, yang tentu kebesaran untuk ukuran anak SD seperti saya. Saat itu kita berimajinasi menaiki pesawat tempur, saya sebagai pilotnya yang memegang stang sepeda, dia sebagai co-pilot (lebih tepat yang menggowes sepeda), karena badannya yang lebih besar dari saya.
Dan setelah lebih dari 10 tahun tidak bersepeda secara rutin, sudah hampir setahun ke belakang saya kembali rutin bersepeda. Saya ke kantor yang jaraknya hanya 15 menit bersepeda. Dan saya sangat bersyukur bisa bersepeda ke kantor.
Mengapa saya bike to work?
Alasan pertama adalah untuk mengirit ongkos. Dari rumah saya ke kantor, jaraknya tidak sampai 5 km. Tapi harus menaiki angkot tiga kali, dua mikrolet, dan satu busway. Total Rp. 15.000 pulang pergi. Naik sepeda, NOL. Saya menghemat 15 ribu x 22 hari kerja, setidaknya 300 ribuan rupiah per bulan.
Alasan kedua adalah mengirit waktu. Alhamdulillah walau kantor memang sudah dekat dari rumah, tapi dengan bersepeda, saya memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga dan bermain dengan anak. Sementara banyak orang menghabiskan waktu 2-4 jam dalam sehari untuk berada di jalan, saya cuma 30 menit di jalan.
Naik angkutan umum, paling cepat menghabiskan 30 menit sekali jalan, atau 1 jam bolak-balik dalam sehari terbuang hanya di jalan. Naik sepeda total menghabiskan hanya 30 menit dalam sehari, berarti saya bisa menghemat 22 x 30 menit = 660 menit = 11 jam sebulan dibanding naik angkot!
Alasan ketiga, gw nggak tahu ini berhubungan dengan bersepeda ke kantor apa nggak, tapi berat badan gw tetap stabil. Penyakit utama lelaki yang sudah menikah kan umumnya berat badan yang meningkat drastis dan perut buncit. Alhamdulillah sejak nikah berat badan gw stabil aja di sekitaran 66-68 kg.
Momen terbaik selama bike to work
Ada setidaknya tiga momen terbaik selama bike to work:
Pertama, saat sama-sama bertemu dengan sesama goweser bike to work. Rasanya seperti bertemu saudara kembar yang terpisah 20 tahun *lebay*. Tapi serius, di antara jutaan motor yang tumpah ruah di jalanan, melihat sesama goweser itu seperti saat kehausan kita menemukan sebatang kaktus hidup di tengah padang pasir, yang saat dipatahkan mengeluarkan getah yang bisa diminum *lebay lagi*.
Kring-kring dan membunyikan bel sepeda, adalah cara paling umum digunakan kalau berpapasan dengan mereka. Syukur-syukur kebetulan bersebelahan di lampu merah yang sama, kita bisa ngobrol. Seperti salah seorang goweser yang gw temui, dia cerita kalau rumahnya di Cibubur.
Goweser bike to work mudah dibedain dengan goweser biasa. Yang pasti dia pakai helm, bawa tas, entah di punggung atau di boncengan sepedanya, penampakannya keren seperti umumnya karyawan, umumnya pakai lampu saat jalan malam hari.
Momen terbaik kedua adalah waktu tertawa lepas saat menyelip di antara mobil, berjalan dengan ngebut seperti jalanan kosong, karena sela-sela di antara dua mobil itu tidak muat untuk dilewati motor. Rasanya seperti berkata, “makan tuh macet, makanya naik sepeda dong, bebas macet!”.
Yang ketiga, adalah waktu menambah angin ban sepeda di pom bensin yang lengkap menyediakan air dan angin. Angin gratiiis.. Sempet sekitar 4-5 kali melakukan itu, tapi kemudian saya memutuskan untuk berhenti melakukan hal tersebut. Kan itu bukan hak saya, karena saya nggak beli apa-apa dari pom bensin tersebut.
Momen terburuk selama bike to work
Alhamdulillah selama ini belum pernah kecelakaan atau gimana-gimana. Tapi ada beberapa momen cukup menyebalkan yang dilalui selama bersepeda ke kantor.
Pertama, kalau lagi asik-asik ngebut di turunan, ada kendaraan (seringnya angkot) yang berhenti cukup tiba-tiba. Gw terpaksa ngerem dan membuang momentum turunan – yang jadi rezeki banget buat setiap goweser – karena udah terlalu mepet/mendadak buat ngambil jalur yang tengah.
Kedua, saat rantai & gear agak ngadat saat diganti. Kejadiannya jarang banget, tapi pernah waktu jalan saat lampu hijau, yang harusnya ngebut karena balapan sama motor-motor, malah agak terhambat karena giginya ngadat. Ngadat tuh maksudnya giginya nggak mau diem, keganti-ganti terus gitu, jadinya akselerasi sepeda nggak maksimal
Penutup
Mengutip kata-kata dari komunitas Bike 2 Work Indonesia, bersepeda ke kantor itu sama dengan 3M: Mulai dari diri sendiri, Mulai dari jarak yang terdekat, Mulai dari sekarang juga.
Gw bersyukur banget jarak rumah ke kantor cuma 5 km, dan ada sepeda nganggur di rumah orangtua (iya, sepeda gw masih minjem sama bokap).
So, nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kau dustakan?
Mari bersepeda!
Leave a comment