Saat saya SMA, ada seorang teman dekat yang amat baik hatinya. Dia sering sekali menraktir saya maupun teman lainnya. Saya pernah ditraktir mie bakso dekat rumahnya, juga pecel ayam, pernah KFC, dan sepertinya masih ada lagi.
Rumah orang tuanya pun sering jadi tempat nongkrong & menginap geng kami di SMA. Jangan ditanya, pastinya makanan kami terjamin saat itu.
Dia bukan anak orang kaya raya, keluarganya termasuk golongan menengah pada umumnya. Ia suka menraktir teman-temannya bukan dari uang jajan, tapi dari usahanya sendiri. Ia getol berdagang berbagai hal, seperti sepatu, laptop, jaket, dsb.
Saya melihat dia bahagia banget bisa nraktir-nraktir seperti itu. Ini sesuatu yang membingungkan buat saya dulu, karena kebalikan dengan teman saya itu, saya tidak suka menraktir-nraktir teman.
Kok bisa gitu dia sedemikian royalnya menghabiskan uang untuk orang lain? Padahal dia sudah susah payah mencari uang dari bisnisnya?
—
Banyak orang percaya, katanya uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi penelitian menunjukkan sebaliknya, bahwa uang BISA membeli kebahagiaan. Tepatnya, saat uang itu dibelikan sesuatu UNTUK ORANG LAIN.
Dalam video TEDx ini, Michael Norton, sang pembicara, menunjukkan sebuah eksperimen di kampus University of British Columbia. Setiap subjek eksperimen diberikan uang 5 dolar. Separuh diinstruksikan untuk membeli sesuatu untuk dirinya, separuh lagi diinstruksikan untuk membelikan sesuatu kepada orang lain. Tingkat kebahagiaan mereka saat itu pun diukur.
Mahasiswa yang membeli sesuatu untuk dirinya kebanyakan membeli kebutuhan mahasiswa seperti aksesoris fashion, atau kopi Starbucks. Mahasiswa yang diminta memberikan sesuatu kepada orang lain ada yang menraktir kopi Starbucks untuk temannya, ada yang makan kue bersama pacarnya, dan sebagainya.
Di malam hari, tingkat rasa bahagia mereka diukur kembali. Hasilnya menarik, mereka yang membelikan sesuatu untuk orang lain ternyata merasa lebih bahagia dari grup yang menghabiskan uangnya untuk dirinya sendiri!
Eksperimen ini dilakukan di berbagai tempat di dunia, seperti Kanada bahkan Uganda, dan hasilnya selaras: saat kita membelikan atau memberikan sesuatu untuk orang lain, kita akan menjadi lebih bahagia dibanding saat menikmatinya sendiri.
Hmm, inikah alasan mengapa teman saya suka nraktir?
—
Ada satu lagi penelitian terbaru yang saya baca tentang kebahagiaan dan hubungannya dengan harta.
Dr. Thomas Gilovich, seorang profesor psikologi dari Cornell University yang meneliti hal ini lebih dari dua dekade, menemukan bahwa membeli pengalaman ternyata lebih membahagiakan dibanding membeli barang.
Penelitiannya menemukan bahwa mereka yang mengeluarkan hartanya untuk membeli sebuah pengalaman, misalnya traveling, nonton konser, atau mengikuti sebuah aktivitas seru, pada akhirnya akan lebih bahagia dibanding saat mereka membeli benda fisik, misalnya gadget atau perhiasan, atau lainnya.
Alasannya, karena benda fisik suatu saat akan mencapai nilai jenuhnya. Begitu sudah terbiasa dengan benda itu, kita akan merasa biasa saja lagi.
Kita beli hape baru, senangnya paling 2-3 bulan pertama. Pas baru beli, hape masih kita rawat baik-baik, kita lap layarnya setiap hari. Lama-lama juga dilempar dan ditaruh sembarangan. Meskipun umur benda itu panjang, nilai kebahagiaan yang diberikan akan menurun.
Berbeda dengan ‘membeli’ sebuah pengalaman. Memori, kenangan, dan emosi saat kita melakukan atau mengalami sesuatu akan tersimpan selamanya dalam otak kita. Walaupun terjadi hanya satu kali, nilai kebahagiaan yang diberikan akan bertahan lama.
Misalnya saat saya pertama kali ke Pulau Tidung, snorkeling, dan menikmati pantai yang bersih. Saat melihat fotonya, saya seperti masih ingat semilir angin pantainya, panas mataharinya, dan perasaan nyeri saat tersengat ubur-ubur pas snorkeling.
Otak memang cenderung lebih mengingat emosi, bukan fakta. Makanya pengalaman yang membahagiakan pasti akan terus kita ingat.
Makanya banyak di antara kita susah move on ya. #eaa
—
Di tahun awal pernikahan, saya memimpin keluarga saya dengan mental miskin. Selalu merasa penghasilan saya kurang, sehingga tidak mungkin saya bisa berbagi kepada orang lain. Boro-boro bisa berbagi ke orang lain, kami tidak bisa menabung sama sekali saat itu. Boro-boro bisa menraktir, keluarga saya saja saat itu amat jarang makan di luar.
Saat itu memang penghasilan saya jauh lebih sedikit dari penghasilan saya saat ini, ditambah lagi saya meneruskan kuliah S2 di saat bersamaan.
Apakah kami bahagia dalam kondisi itu? Kami tidak bisa bilang kami benar-benar bahagia. Tidak terhitung berapa kali kami galau karena uang keluarga amat ngepas sekali. Kalau bukan karena kebaikan yang ditunjukkan Allah SWT kepada kami, sulit dibayangkan kami bisa hidup saat itu.
Walaupun demikian, istri saya selalu mengingatkan saya untuk berbagi rezeki. Untuk sedekah. Untuk percaya janji Allah SWT bahwa hamba-Nya yang suka sedekah tidak akan kekurangan kebahagiaan.
Sungguh, sulit bagi saya untuk keluar dari mentalitas orang miskin.
—
Kalau kita miskin, kebutuhan diri sendiri tidak terpenuhi, tentu kita tidak akan bahagia. Bagaimana mau bahagia kalau kita tidak tahu besok mau makan apa. Kita harus kaya dan tercukupi kebutuhan hidupnya supaya bisa bahagia.
Tapi apakah kita harus menambah terus kekayaan kita supaya bisa bahagia terus?
Ada satu hal menarik, lagi-lagi tentang harta dan kebahagiaan. Penelitian dari Daniel Kahneman, pemenang Nobel ekonomi 2002 dan Angus Deaton, mantan presiden American Economic Association, yang dipublikasikan Princeton University, menunjukkan walau pemasukan kita bertambah terus, akan ada satu batas di mana kebahagiaan kita tidak bertambah secara signifikan walaupun kekayaan kita bertambah.
Berdasarkan hasil penelitian itu di Amerika Serikat sana, tingkat kebahagiaan kita akan hidup akan dicapai kalau sebuah rumah tangga memiliki penghasilan US$ 75,000 per tahun. Saat penghasilan keluarga di bawah itu, setiap penambahan penghasilan akan meningkatkan kebahagiaan keluarga. Tapi begitu lewat angka itu, index kebahagiaan keluarga di Amerika Serikat sana diakui sama saja dengan sebelumnya, tidak lebih, tidak kurang.
Dengan uang lebih banyak, kita bisa membeli lebih banyak barang. Namun penelitian itu menunjukkan kita tidak akan lebih bahagia walaupun misalnya punya rumah mewah di mana mana. Walaupun gonta-ganti gadget terbaru. Walaupun bisa makan enak di mana pun. Walaupun punya mobil banyak. Kok bisa gitu ya?
Bayangkan kita amat ngidam suatu makanan yang tidak sanggup kita beli dulu, misalnya restoran all you can eat macam Hanamasa yang per orangnya hampir 200 ribu.
Saat kita akhirnya punya uang untuk makan di sana, awalnya kita akan sangat bahagia bisa sepuasnya makan di sana. Tapi di satu titik pasti perut kita akan amat kenyang. Kita akan muntah dan pasti tidak bahagia kalau makan lagi.
Demikian analogi antara harta & kebahagiaan. Pasti akan ada batas kita sanggup & bahagia menikmati kekayaan kita, sampai akhirnya kita bosan sendiri dengan kekayaan kita. Dan pada akhirnya tidak bertambah bahagia.
—
Sampai sini, mungkin teman-teman bisa menebak arah tulisan saya ini.
Ya, kita bisa terus menjadi lebih bahagia setiap harinya. Walaupun kita kelak (amiin!) jadi lebih kaya secara materi, kita bisa terus berbahagia dengan harta yang kita miliki.
Caranya dengan berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Dengan memberikan dan menghabiskan uang kita untuk orang lain. Dengan menikmati kekayaan kita bersama-sama, khususnya bagi mereka yang belum beruntung.
Dengan terus mengeluarkan uang kita sendiri untuk orang lain, istilah gampangnya ya menraktir, kita akan menjadi terus bahagia. Kita ‘membeli’ sebuah pengalaman tak terlupakan, yaitu senyum bahagia dan doa tulus yang mereka panjatkan agar kita terus sehat & kaya selalu, jadi bisa menraktir mereka terus.
—
Pertengahan tahun 2014 lalu, akhirnya saya sadar. Berkat status demi status Facebook dari salah seorang guru kehidupan yang saya ikuti di Facebook, saya menyadari bahwa saya memiliki mental miskin, mental orang susah dan selalu kekurangan, mental orang yang tidak mau berbagi kepada orang lain. Allah Maha Baik, mengingatkan saya lewat status-status Facebook orang lain.
Titik balik saya perubahan mental saya dituliskan dalam postingan blog ini, Mental Kaya vs Mental Miskin.
Setelah mental saya berubah 180 derajat, saya mulai belajar untuk berbagi. Dengan dukungan dan pengingatan tak pernah berhenti dari dulu oleh istri saya, saya mulai membuka diri untuk berbagi rezeki.
Sasaran pertama kami tidak lain adalah orang tua kami sendiri. Apalagi, saya dan istri tidak sempat berbagi kepada mereka (tidak lama setelah lulus kuliah, belum mapan, kami langsung menikah).
Walaupun tentu kami tidak mungkin bisa membalas kebaikan mereka membesarkan kita dengan materi sebanyak apapun, tapi kami ingin menunjukkan kepada mereka bahwa kami bisa berbakti dan membahagiakan mereka.
Mulai dari hadiah ulang tahun & hari jadi pernikahan mereka, sedikit bantuan untuk renovasi rumah, menraktir mereka makan, kami memulai dari hal kecil yang kami bisa lakukan.
Alhamdulillah, kami masih bisa diberi kesempatan seperti ini, mumpung keempat orang tua kita masih ada.
Doakan agar kami bisa terus berbagi kepada orang tua kami, karena tujuan besar kami adalah saat kami bisa menghajikan mereka (mertua saya) dan umroh bersama (orang tua saya).
—
Nah, kini saya tahu mengapa teman saya tadi suka menraktir-nraktir saya dulu. Ternyata dia amat bahagia melakukan itu! Dan kini, saya sedang mengikuti jejaknya juga, dimulai dari menraktir dan membahagiakan orang tua sendiri.
Jadi, apakah kamu masih mau pelit-pelit tidak menraktir temanmu?
Inspiratif banget mas, dan emang yang mas ilman tuliskan ini benar benar terjadi di kehidupan nyata saya
yup, satu bukti nyata lagi ya..
terimakasih sudah mampir 🙂
bener banget kaaaaaaak :))))
rasa bahagia waktu kasi orang tua sesuatu itu gak ternilai banget 🙂
iya banget fiiir..
sekarang saya udah jadi orang tua. kita seneeeeng banget kalau anak sayang juga sama kita, yg diekspresikan dengan pelukan, ciuman, atau tingkah2 lucu..
saat anak udah gede, bentuk rasa sayang itu bisa apapun, tapi disayang balik sama anak tuh rasanya membahagiakan bangeeet
Jadi kapan mau traktir saya Mas Ilman? Hehehe
ayo2, kalo kita ketemu, janji insya Allah saya traktir deh 😀
traktir jurassic world 4DX dong :p. Ayoo… buka puasa bersama (semoga bukan wacana 🙂 )
Betuul Man. Entah kenapa memberi itu gives us a special spiritual feeling.
Yang bahkan kadang memberi kebahagiaan tersendiri, lebih daripada pas gaji dateng. Hehe.
Keep writing Man! Tulisannya anget. Gives us a warm feeling ^_^
alhamdulillaah, makasih Anien udah bacaa ^^
mari kita terus berbagi yaa..
mau donk punya teman yang hobi nraktir.
Wah berarti mamanya Naia dulunya sering di traktir juga ya 🙂 btw selamat ulang tahun hehehe barusan baca postingan di sebelah
Bener sekali mas, nggak cuman neraktir orang sih. Yang penting jika uang dibelanjakan untuk beramal pasti ada kebahagiaan tersendiri nantinya, walaupun nggak secara langsung. Allah pasti membalasnya kelak.
Koq aku mau menitikan air mata pas baca yang terakhir… Subhanallah