Tertohok oleh Postingan di Blog Sendiri: Saya harus Selesai dengan Diri Sendiri!

Sungguh ajaib rasanya, sebuah postingan blog yang saya tulis 4 tahun lalu, bisa menohok diri sendiri saat dibaca ulang saat ini.

Tertohok

Suatu siang, saat sedang santai melihat newsfeed Facebook saya, ada seseorang menshare sebuah tulisan, dengan komentar “tertohok”. Saya cukup terkejut karena dia menshare tulisan di blog saya ini, yang bertanggal empat tahun lalu, entah dari mana ia membacanya. Tidak berpikir panjang, saya mengklik link itu dan membaca tulisan saya sendiri.

Tertohok

Di tulisan itu, Hanya yang Telah Selesai dengan Dirinya yang Bisa Berbuat untuk Orang Lain, saya mengangkat tentang beberapa orang yang amat menginspirasi, yang telah berbuat hal yang amat bermanfaat bagi banyak orang. Hidup mereka seakan dibaktikan untuk orang lain, bukan cuma untuk diri mereka sendiri.

Mengapa mereka bisa seperti itu? Jawaban yang saya temukan adalah karena mereka telah “selesai dengan diri mereka sendiri”.

Mereka telah selesai dari fase menyelesaikan masalah sendiri, kemudian bertanya, “bagaimana aku bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain?”. Mereka melihat masalah yang ada di dunia ini, kemudian memulai sebuah tindakan sederhana untuk menyelesaikan masalah itu.

Empat tahun lalu, saat menulis tulisan itu, saya merasa sudah selesai dengan diri saya sendiri.

Saat masih kuliah, 2005-2009, saya aktif berkegiatan, mencoba hampir semua hal yang seorang mahasiswa bisa lakukan. Mulai dari ikut organisasi, kepanitiaan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan sebagainya, termasuk mengajak teman-teman di kampus untuk aktif berkegiatan positif juga. Hingga puncaknya saya didaulat menjadi seorang mahasiswa berprestasi utama di kampus Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

Saya kemudian lulus tepat waktu. Saya lalu memiliki penghasilan sendiri yang walaupun tidak banyak, itu berasal dari usaha sendiri yang dibangun bersama sahabat satu angkatan. Kami mencoba sedikit mengurangi masalah pengangguran di Indonesia, karena kami mempekerjakan diri kami sendiri dan 4 orang lain yang jadi karyawan kami.

Saat di kampus saya sempat mendirikan media online komunitas UI, bernama anakUI.com. Saat itu, tahun 2007, anakUI.com mencoba menyelesaikan masalah tidak adanya media online yang ‘sangat mahasiswa sekali’ bagi sivitas UI. Hingga kini, 8 tahun kemudian, anakUI.com masih terus aktif saya jalankan, dibantu oleh tim saya.

Saat itu, saat saya masih bujang, saya tahu apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan saya. Saya memanfaatkan semaksimal mungkin kelebihan saya dan mencari cara untuk mengatasi kekurangan saya.

Saat itu, saya merasa puas dengan hidup saya. Saya merasa amat bermakna, mengetahui bahwa hal-hal kecil yang saya lakukan ternyata ada manfaatnya bagi orang lain.

Amat sedikit yang saya tahu saat itu, bahwa status ‘selesai dengan diri sendiri’ itu tidak menetap. Ternyata kita harus menyelesaikan diri kita sendiri di setiap tahap kehidupan kita.

Saat saya menempuh hidup baru alias menikah pada tahun 2011, hingga saat ini saya masih dalam proses menuju selesai dengan diri sendiri.

Belum selesai fase adaptasi dalam hidup memegang tanggung jawab sebagai suami, alhamdulillah tidak lama sudah dikaruniai anak dan diberi tanggung jawab tambahan sebagai ayah. Dari situ saya sadar, hidup saya benar-benar seperti dari 0 lagi. Itulah kenapa pernikahan disebut hidup baru.

Kalau dulu saat masih bujangan saya harus memanfaatkan kelebihan & mengatasi kekurangan diri sendiri, kini saya harus menggali kelebihan istri & anak serta menerima apa kekurangan mereka.

Jika dulu saya bisa mengatur diri saya dengan mudah, mau kerja dari habis subuh hingga larut malam, mau main game sampai puas atau bertemu orang sampai malam, kini saya tidak bisa mengatur diri seenaknya. Sekarang saya punya mereka yang benar-benar menanti saya pulang ke rumah.

Dulu saat masih single, saya bisa sabar & santai saja mendapatkan penghasilan dari bisnis saya sebesar hanya 1,5 juta rupiah sebulannya. Kini, saya harus kerja keras menjemput rezeki dari Allah SWT, karena kebutuhan kami jauh lebih besar di atas itu.

Dulu saya bisa sesuka hati beraktivitas, mencoba memberi sedikit manfaat bagi dunia ini. Kini saya harus memastikan kebutuhan keluarga kecil saya tercukupi dulu. Tidak sekedar sandang, pangan, papan yang berupa material semata, namun juga hal yang tak berwujud seperti kasih sayang, perhatian, penguatan ilmu agama, ilmu dunia, dan masih banyak lagi.

Saya perlu selesai dengan diri saya sebagai suami & ayah terlebih dahulu, baru bisa mengajak keluarga saya untuk berkarya dan menjadi bermanfaat bagi dunia ini.

Sudah ada contoh keluarga modern yang sudah selesai dengan diri mereka, lalu menginspirasi dunia sebagai sebuah keluarga.

Salah satunya adalah keluarga Pak Dodik Mardiyanto & Bu Septi Peni Wulandani. Ketiga anak mereka sudah jadi leader di bidangnya masing-masing di usia yang bahkan belum sampai 20. Si sulung, wanita, Ara namanya, amat peduli lingkungan, meraih Ashoka Awards, dan berhasil kuliah di Singapura setelah SMP, tanpa SMA. Si nomor dua, Enes, wanita juga, amat menggemari susu dan punya bisnis ternak dengan ribuan sapi di usianya yang masih belasan. Si bungsu, satu-satunya anak lelaki, Elan namanya, amat passion dengan dunia robotik, menciptakan robot dari sampah.

Mereka bukti nyata sebuah keluarga yang sudah selesai dengan diri mereka. Mereka tidak mungkin seperti itu tanpa sang ayah yang mendukung & mengarahkan mereka, serta sang ibu yang mendidik mereka secara profesional.

Yang diperlukan hanya seorang kepala keluarga yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Lalu sang ayah membantu sang Ibu selesai dengan dirinya. Lalu berdua mereka membantu anak-anak mereka menyelesaikan diri mereka. Setelah itu, keluarga yang sudah selesai dengan dirinya tersebut bisa berkarya, memberi manfaat, dan membantu menyelesaikan sedikit masalah di dunia.

Sebagai keluarga, kita punya kekuatan yang amat besar dalam mengubah dunia, karena kita bekerja sebagai tim. Tidak seperti saat kita masih berupa satu orang saja (colek para jomblo).

Tidak pernah saya sangka, tulisan ringan empat tahun lalu kembali ke diri saya saat ini, di waktu ini. Dan menohok dengan amat keras.

Terimakasih ya Tuhan, hamba-Mu ini diingatkan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Alhamdulillah, ini jelas sebuah bukti lagi mengapa kita harus menulis, bukan untuk siapa-siapa, tapi buat diri sendiri 🙂


Photo Credit: &y via Compfight cc

Join the Conversation

2 Comments

Leave a comment

Leave a Reply

%d bloggers like this: